Jumat, 25 Januari 2013

menjaga kesehatan anak autis

Autis adalah gangguan perilaku yang luas dan berat, mencakup bidang komunikasi, interaksi sosial, perilaku motorik, emosi, dan persepsi sensorik yang banyak ditemukan pada anak-anak.
Dalam banyak kasus, gejala autis muncul sebelum anak berusia tiga tahun, bahkan dalam beberapa kasus gejala autis justru sudah nampak sejak lahir.
Selama puluhan tahun penyebab gejala autis masih misteri dan baru sekitar 10 tahun terakhir diketahui adanya kelainan struktur otak yang menjadi penyebab.
Dr dr Sri Achadi Nugraheni, ahli gizi yang tertarik meneliti tentang autisme, terutama tentang pengaruh makanan dan minuman terhadap autisme. "Saya tertarik dengan persoalan autisme sejak 1985, ketika itu saya masih kuliah," kata Nugraheni yang kini menjabat Kepala Bidang Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.
Penyandang autisme di dunia kini cenderung meningkat. Penelitian terakhir dari Autism Reseach Centre of Cambridge University menyebutkan ada 58 anak autis per 10.000 kelahiran.
"Padahal, sekitar 10 tahun lalu hanya ada sekitar 2-4 anak autis per 10.000 kelahiran, sehingga di Indonesia diperkirakan lahir 6.900 anak autis per tahun," katanya.
Karena itu, ia terdorong melakukan penelitian tentang pengaruh asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi anak autis dengan mengambil sampel di Semarang dan Solo.
Menurut dia, penyandang autis kemungkinan dapat diatasi dengan makanan atau minuman tertentu, sebab makanan dan minuman memiliki pengaruh cukup besar bagi kehidupan.
Ada penelitian yang menyatakan bahwa diet terhadap makanan dan minuman yang mengandung gluten (protein dari gandum) dan casein (protein dari susu) berpengaruh besar terhadap autisme.
Namun, kata dia, beberapa pendapat justru meragukan kebenaran teori itu karena belum dapat dibuktikan secara ilmiah.
"Penelitian itu sebenarnya sangat membantu para orang tua yang memiliki anak autis, agar mereka tahu makanan dan minuman apa saja yang harus dihindari," katanya.
Ia mengambil sampel 160 anak autis dari enam empat terapi di Semarang yang dinamakan kelompok intervensi dan 120 anak autis dari lima tempat terapi di Solo yang dinamakan kelompok kontrol.
Lewat penelitian itu, ia menganjurkan diet ketat menghindari asupan mengandung casein yang berasal dari susu, misalnya susu sapi, susu bubuk, susu skim, susu kambing, mentega, dan keju.
Para orang tua anak penyandang autis juga diminta menghindari pemberian segala macam asupan mengandung gluten yang berasal dari gandum, misalnya sereal kepada anaknya.
"Setelah itu, kami mengadakan pengamatan dan konseling kepada setiap orang tua untuk memantau pelaksanaan diet bebas casein dan gluten, setiap dua minggu sekali selama tiga bulan," katanya.
Pengamatan dan konseling secara rutin dan terus-menerus itu penting, terutama untuk memonitor apakah diet bebas casein dan gluten masih dijalankan dengan benar.
Menggembirakan
Setelah melakukan pengamatan dan pengawasan diet selama tiga bulan itu, ia menemukan perkembangan yang cukup baik bagi penyandang autis, terutama dalam perubahan perilaku yang positif.
"Gangguan perilaku interaksi sosial, antara lain rasa malu tidak wajar, tidak ada kontak mata, suka menyendiri mengalami penurunan signifikan," katanya.
Gangguan komunikasi nonverbal, lanjutnya, seperti bergumam kata-kata tidak bermakna, nada dan volume bicara tidak wajar, menarik tangan orang juga berkurang.
Ia mencatat pula bahwa gangguan perilaku motorik, antara lain hiperaktif dan berjalan secara tidak wajar turut berkurang, seperti halnya gangguan emosi dan persepsi sensorik, misalnya suka menjilat dan tidak merasa sakit jika terluka.
Hasil diet yang menggembirakan itu ditunjang oleh berbagai penelitian di bidang metabolisme yang menunjukkan banyak anak autis mengalami gangguan metabolisme, salah satunya kelainan pencernaan.
"Kelainan pencernaan yang ditemukan pada anak autis adalah adanya lubang-lubang kecil pada saluran pencernaan, tepatnya di mukosa usus," katanya.
Di sisi lain, kata dia, casein dan gluten ternyata merupakan protein yang paling susah dicerna karena termasuk asam amino pendek yang sering disebut peptide.
Ia mengatakan, peptide dalam keadaan normal biasanya hanya diabsorbsi sedikit dan sisanya dibuang, namun karena adanya kebocoran mukosa usus menjadikannya masuk ke dalam sirkulasi darah.
"Di dalam darah peptide ini hanya sebentar, karena sebagian dikeluarkan lewat urin dan sisanya masuk ke dalam otak yang dapat menempel pada reseptor opioid di otak," katanya.
Nantinya, peptide itu akan berubah menjadi morfin yang dapat memengaruhi fungsi susunan syaraf dan dapat menimbulkan gangguan perilaku.
Diet bebas gluten dan casein itu sebenarnya merupakan terapi penunjang yang tidak dapat bersifat langsung menyembuhkan autisme, namun diharapkan dapat mempercepat proses penyembuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar