Autis adalah gangguan perilaku yang luas dan berat, mencakup bidang
komunikasi, interaksi sosial, perilaku motorik, emosi, dan persepsi
sensorik yang banyak ditemukan pada anak-anak.
Dalam banyak
kasus, gejala autis muncul sebelum anak berusia tiga tahun, bahkan dalam
beberapa kasus gejala autis justru sudah nampak sejak lahir.
Selama
puluhan tahun penyebab gejala autis masih misteri dan baru sekitar 10
tahun terakhir diketahui adanya kelainan struktur otak yang menjadi
penyebab.
Dr dr Sri Achadi Nugraheni, ahli gizi yang tertarik
meneliti tentang autisme, terutama tentang pengaruh makanan dan minuman
terhadap autisme. "Saya tertarik dengan persoalan autisme sejak 1985,
ketika itu saya masih kuliah," kata Nugraheni yang kini menjabat Kepala
Bidang Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.
Penyandang
autisme di dunia kini cenderung meningkat. Penelitian terakhir dari
Autism Reseach Centre of Cambridge University menyebutkan ada 58 anak
autis per 10.000 kelahiran.
"Padahal, sekitar 10 tahun lalu hanya ada
sekitar 2-4 anak autis per 10.000 kelahiran, sehingga di Indonesia
diperkirakan lahir 6.900 anak autis per tahun," katanya.
Karena itu,
ia terdorong melakukan penelitian tentang pengaruh asupan makanan dan
minuman yang dikonsumsi anak autis dengan mengambil sampel di Semarang
dan Solo.
Menurut dia, penyandang autis kemungkinan dapat diatasi
dengan makanan atau minuman tertentu, sebab makanan dan minuman memiliki
pengaruh cukup besar bagi kehidupan.
Ada penelitian yang menyatakan bahwa diet terhadap makanan dan minuman yang mengandung gluten (protein dari gandum) dan casein (protein dari susu) berpengaruh besar terhadap autisme.
Namun, kata dia, beberapa pendapat justru meragukan kebenaran teori itu karena belum dapat dibuktikan secara ilmiah.
"Penelitian
itu sebenarnya sangat membantu para orang tua yang memiliki anak autis,
agar mereka tahu makanan dan minuman apa saja yang harus dihindari,"
katanya.
Ia mengambil sampel 160 anak autis dari enam empat terapi di
Semarang yang dinamakan kelompok intervensi dan 120 anak autis dari
lima tempat terapi di Solo yang dinamakan kelompok kontrol.
Lewat penelitian itu, ia menganjurkan diet ketat menghindari asupan mengandung casein yang berasal dari susu, misalnya susu sapi, susu bubuk, susu skim, susu kambing, mentega, dan keju.
Para orang tua anak penyandang autis juga diminta menghindari pemberian segala macam asupan mengandung gluten yang berasal dari gandum, misalnya sereal kepada anaknya.
"Setelah itu, kami mengadakan pengamatan dan konseling kepada setiap orang tua untuk memantau pelaksanaan diet bebas casein dan gluten, setiap dua minggu sekali selama tiga bulan," katanya.
Pengamatan dan konseling secara rutin dan terus-menerus itu penting, terutama untuk memonitor apakah diet bebas casein dan gluten masih dijalankan dengan benar.
Menggembirakan
Setelah
melakukan pengamatan dan pengawasan diet selama tiga bulan itu, ia
menemukan perkembangan yang cukup baik bagi penyandang autis, terutama
dalam perubahan perilaku yang positif.
"Gangguan perilaku interaksi
sosial, antara lain rasa malu tidak wajar, tidak ada kontak mata, suka
menyendiri mengalami penurunan signifikan," katanya.
Gangguan
komunikasi nonverbal, lanjutnya, seperti bergumam kata-kata tidak
bermakna, nada dan volume bicara tidak wajar, menarik tangan orang juga
berkurang.
Ia mencatat pula bahwa gangguan perilaku motorik, antara
lain hiperaktif dan berjalan secara tidak wajar turut berkurang, seperti
halnya gangguan emosi dan persepsi sensorik, misalnya suka menjilat dan
tidak merasa sakit jika terluka.
Hasil diet yang menggembirakan itu
ditunjang oleh berbagai penelitian di bidang metabolisme yang
menunjukkan banyak anak autis mengalami gangguan metabolisme, salah
satunya kelainan pencernaan.
"Kelainan pencernaan yang ditemukan pada
anak autis adalah adanya lubang-lubang kecil pada saluran pencernaan,
tepatnya di mukosa usus," katanya.
Di sisi lain, kata dia, casein dan gluten ternyata merupakan protein yang paling susah dicerna karena termasuk asam amino pendek yang sering disebut peptide.
Ia mengatakan, peptide
dalam keadaan normal biasanya hanya diabsorbsi sedikit dan sisanya
dibuang, namun karena adanya kebocoran mukosa usus menjadikannya masuk
ke dalam sirkulasi darah.
"Di dalam darah peptide ini hanya sebentar, karena sebagian dikeluarkan lewat urin dan sisanya masuk ke dalam otak yang dapat menempel pada reseptor opioid di otak," katanya.
Nantinya, peptide itu akan berubah menjadi morfin yang dapat memengaruhi fungsi susunan syaraf dan dapat menimbulkan gangguan perilaku.
Diet bebas gluten dan casein
itu sebenarnya merupakan terapi penunjang yang tidak dapat bersifat
langsung menyembuhkan autisme, namun diharapkan dapat mempercepat proses
penyembuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar